5.04.2009

PEMANFAATAN, ANCAMAN, DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM PADANG LAMUN

Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen, 2002).
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting, ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan, salah satunya adalah ekosistem padang lamun, di samping ekosistem lainnya. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Wilayah ini juga sebagai sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota. Keough & Jenkin (…..), padang lamun yang dijumpai di alam sering berasosiasi dengan flora dan fauna akuatik lainnya, seperti alga, meiofauna, moluska, ekinodermata, krustasea dan berbagai jenis ikan.
Ogden & Gladfelter dalam Bengen (2002), ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang terisolasi, tetapi berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Interaksi terpenting ekosistem padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, dimana terdapat 5 tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut: fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna dan dampak manusia.

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, sehingga tumbuhan lamun dan beraneka ragam serta berlimpahnya organisme yang berasosiasi dengan padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai: tempat pemancingan, wisata bahari, bahan baku pakan artifisial untuk ikan dan hewan ternak, sumber pupuk hijau, areal marikultur (ikan, teripang, kerang, tiram, dan rumput laut), bahan baku kerajinan anyaman, dan sebagainya.
Pemanfaatan potensi dari nilai padang lamun dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi tanpa pengelolaan yang berkelanjutan maka akan mengurangi fungsi dari ekosistem ini. Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya padang lamun, sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap kelestariannya. Padang lamun di Indonesia telah banyak mengalami kemunduran kualitas, baik akibat proses-proses alami maupun akibat aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang banyak mengancam padang lamun adalah dampak aktivitas penangkapan ikan, buangan limbah dan sampah, pencemaran, aktivitas rekreasi, aktivitas pelayaran dan tempat berlabuh, buangan sisa-sisa industri dan pabrik, dan lain-lain.
Dalam menghadapi kompetisi yang serius untuk mendapatkan ruang di pesisir, proses pembangunan harus mencari suatu keseimbangan dari kegiatan yang ada tanpa mengabaikan produktivitas yang berasal dari sumber daya utama. Pengelolaan dan perencanaan zona pesisir terpadu dipilih sebagai suatu metoda pemanfaatan dan konservasi sumber daya untuk menjawab masalah-masalah spesifik seperti kerusakan yang terjadi pada sumber daya dan konflik antar pengguna daerah pesisir. Identifikasi terhadap masalah-masalah wilayah pesisir yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat juga memberikan perangsang kepada badan-badan dan masyarakat yang mempunyai kepentingan untuk melestarikan sumber daya dan pendapatan mereka, melibatkan, berperan dan melaksanakan program-program guna memberikan jalan keluar terhadap kesulitan yang telah diidentifikasikan.

Ekosistem Padang Lamun
Wilayah pesisir merupakan pusat interaksi antara darat dengan laut. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring di antara daratan dan lautan, serta merupakan pemusatan terbesar penduduk. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya.
Lamun (Seagrass)
Lamun memiliki perbedaan yang nyata dengan tumbuhan yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti makro alga atau rumput laut (seaweeds). Tanaman lamun memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi benih. Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme; serta faktor eksternal, seperti zat-zat hara dan tingkat kesuburan perairan.
Dahuri (2003), lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan kedalaman 4 meter. Padang lamun terbentuk di dasar laut yang masih ditembusi cahaya matahari yang cukup untuk pertumbuhannya.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 55 jenis lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis dominan. Hampir semua substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan disubstrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Bengen, 2002). Beberapa spesies seperti Thalassia testudinum secara ekstrim dapat bertumbuh dengan cepat, dengan laju pertumbuhan daun 2 cm per hari. Pertambahan panjang rhizoma, sesuai jenisnya, ada yang mencapai 100-200 cm per tahun (Keough & Jenkin, ….).
Ekosistem padang lamun berfungsi sebagai penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis. Detritus daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik (seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri), sehingga dihasilkan bahan organik, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk nutrien. Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, dan juvenil ikan/udang (Dahuri, 2003).
Padang Lamun sebagai Habitat
Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut, seperti ikan, krustasea, moluska (Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp., Linckia sp.), dan cacing (Polikaeta) (Bengen, 2002). Atau, Keough dan Jenkin (…..) membagi dalam Periphyton (bakteri dan tumbuhan bersel satu), Epiphytes (alga yang lebih besar yang tumbuh di daun lamun), Infauna (hewan yang hidup dalam sedimen, di antara rhizoma), Mobile epifauna (moluska yang berasosiasi di permukaan sedime, sering ditemukan di antara luruhan lamun, di atas tangkai atau daun lamun), Sessile epifauna (hewan yang menempel permanen pada tangkai atau daun lamun), dan Epbenthic fauna (hewan mobile yang berasosiasi bebas dengan padang lamun).
Ikan. Padang lamun merupakan habitat yang sangat penting bagi komunitas ikan. Ditemukan 360 spesies ikan yang berasosiasi dengan padang lamun. Spesies yang bernilai ekonomis dan dominan adalah siganid (beronang). Selain itu terdapat juga penyu hijau dan dugong yang memanfaatkan daun lamun sebagai pakannya.
Pada prinsipnya ikan-ikan yang hidup di habitat padang lamun dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu (1) tinggal sepanjang waktu untuk berpijah dan kegiatan lainnya, (2) tinggal sejak juvenil hingga stadia dewasa, tetapi berpijah di tempat lain, (3) tinggal hanya selama stadia juvenil, dan (4) tinggal hanya sesaat (Hutomo & Martosewojo, 1977).
Moluska. Moluska merupakan komponen penting dan terbesar di antara hewan avertebrata di lingkungan laut. Dalam filum Moluska, klas Gastropoda merupakan komponen utama atau terbe¬sar, menempati habitat terestrial hingga kedalaman ribuan meter di dasar laut. Umumnya bergerak dalam wilayah yang terbatas tetapi mobile.
Sejumlah jenis kerang mampu mengha¬silkan mutiara alam yang bermutu tinggi. Keindahan dan kelangkaan sejumlah jenis moluska, membuat para kolektor bersedia membayar dengan harga yang mahal sekalipun. Meningkatnya industri turisme telah ter¬bukti ikut menstimulir perdagangan cangkang moluska.
Krustasea. Kepiting, lobster dan udang bernilai ekonomis penting dan merupakan jenis berukuran besar yang masuk dalam kelas Malacostraca. Jones & Morgan (1994), kepiting rajungan untuk penghindaran diri terhadap predator dilakukan dengan ruaya vertikal dan membenamkan diri dalam substrat.
Ekinodermata. 5 kelas dalam filum ini adalah : bintang laut, bulu babi, teripang, bintang rapuh dan lili laut. Kelimanya menarik perhatian dan cukup melimpah dimana ekinodermata berasosiasi dengan padang lamun.
Teripang, bintang rapuh dan lili laut jarang sekali menim¬bulkan pengaruh ekologis yang nyata terhadap padang lamun. Bintang laut yang preda¬tor dan bulu babi yang herbivor adalah yang paling nyata mempengaruhi ekologis komunitas lamun.
Alga. Trono dan Fortes (1988) mengemukakan bahwa ganggang berukuran besar (macro algae) yang merupakan tanaman tingkat rendah, terdiri dari tiga divisi: Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta yang ketiganya dibedakan oleh kandungan pigmen foto¬sintesa.
Umumnya rumput laut (seaweeds) terdapat di sekitar pantai dalam jumlah dan jenis yang beraneka ragam. Perairan yang potensial di Indonesia, menyebabkan hampir seluruh perairan pantai di tiap provinsi dapat ditumbuhi rumput laut (Winar¬no, 1990).
Plankton. Berdasarkan jenisnya plankton dibagi atas fitoplankton, merupakan organisma autotrof yang dapat berfotosintesis, dan karena kemampuannya membentuk zat organik dari zat anorganik menjadikannya produsen primer di laut (Nontji, 1987); Zooplankton sebagai pengikat energi dari fitoplankton, karena merupakan predator utama bagi fitoplankton, juga merupakan pengontrol dari produksi fitoplankton. Berdasarkan daur hidupnya, zooplankton dibagi atas dua golongan yaitu holoplankton dan meroplankton. Plankton masih dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan habitat dan distribusi kedalaman.
Plankton yang berukuran kecil tidaklah berarti mereka adalah organisme yang tidak penting, malah sebaliknya orga¬nisme ini bernilai ekonomis sangat penting di dalam ekosis¬tem bahari karena merupakan sumber makanan utama bagi orga¬nisme lainnya.


Pemanfaatan ekosistem padang lamun
Areal budidaya laut (marikultur)
Mulai tahun 2005 mendatang akan terjadi kelangkaan ikan di pasar dunia yaitu mencapai 30 juta ton/tahun. Kelangkaan itu terjadi menyusul adanya kebijakan penghentian sementara penangkapan ikan (moratorium) di kawasan Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Cina dan sejumlah negara produsen lainnya oleh pemerintah setempat. Hingga tahun 2001 volume produksi ikan dunia sekitar 115 juta ton/tahun. Indonesia, hingga tahun tersebut hanya mampu memproduksi ikan sekitar 4 juta ton/tahun (Ikawati, 2003). Menurut data Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2003), potensi lestari produksi perikanan Indonesia mencapai 6.7 juta ton/tahun.
Potensi yang dapat dikembangkan adalah budidaya ikan di karamba jaring apung (Kajapung – KJA) dan budidaya rumput laut dengan metode tali tunggal permukaan. Usaha ini bila dimanfaatkan dengan baik sangat penting artinya bagi peningkatan produksi perikanan, kesempatan kerja, pendapatan nelayan dan devisa negara. Peluang pengembangannya dapat dilihat dari potensi sumberdaya alam, sumberdaya alam dan pasar.
Kegiatan budidaya perikanan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain sumber air menyangkut kualitas dan kuantitasnya, potensi/ketersediaan lahan menyangkut topografi, tekstur dan kesuburannya yang diperkirakan dapat dimanfaatkan bagi usaha budidaya. Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang cukup besar. Berdasarkan hitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi lahan kegiatan budidaya berbasis laut diperkirakan sekitar 24.53 juta ha, dan khusus untuk budidaya karamba jaring apung 2.01 juta ha. Komoditas yang dapat dibudiayakan pada areal tersebut: ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone serta rumput laut (Dahuri, 2002).
Usaha ini dapat beroperasi dengan baik jika lokasi yang merupakan areal budidaya pada saat site selection dilakukan pengukuran dan pengamatan, sehingga dapat ditentukan lokasi yang benar-benar layak.
Lokasi harus terhindar dari badai dan gelombang besar dan terus-menerus. Karena hal ini akan membuat ikan stres yang mempengaruhi pertumbuhan, selera makan dan penyebab penyakit, selain itu dapat merusakan kontruksi. Untuk itu harus dipilih lokasi :
1) Di teluk, antara pulau, terdapat karang yg memanjang untuk meredam terpaan gelombang.
2) Limbah : terhindar dari pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan rumah tangga.
3) Predator : menghindari habitat ikan buas sebagai pemangsa dan dapat merusak jaring.
4) Lalu lintas kapal : bukan merupakan alur pelayaran kapal penumpang, barang & tanker yg dapat menyebabkan kebisingan, buangan minyak, gelombang atau tersangkut tali jangkar.
5) Pakan : lokasi harus dekat areal operasional bagan atau tempat pendaratan ikan.
6) Transportasi : paling tidak transport untuk benih dan hasil panen dapat cepat dan lancar.
7) Keamanan : ditekankan pada pencurian ikan.

Tempat Rekreasi/Pariwisata
Dahuri (2002), menurut studi konsultasi Perancis, Euro Asia Management 1998, produk-produk dan daya tarik yang dapat dikembangkan pada pariwisata bahari di Indonesia di antaranya adalah: Wisata Bisnis (Business Tourism), Wisata Pantai (Seaside Tourism), Wisata Budaya (Cultural Tourism), Wisata Pesiar (Cruise Tourism), Wisata Alam (Eco Tourism), dan Wisata Olahraga (Sport Tourism).
Pariwisata di padang lamun yang dapat dikembangkan adalah wisata bisnis dan wisata olahraga. Wisata bisnis yang bisa dibangun adalah pembangunan cottage dan real estate di permukaan air. Pembangunan ini dapat mengadopsi dari master plan di darat dengan memodifikasi beberapa struktur instalasi buangan limbah.
Pemanfaatan pembangunan perumahan di lahan padang lamun harus jelas batas-batasnya, karena jika tidak maka akan terjadi konflik dan ketidakberaturan. Rais (2003a), sudah ada pembangunan perumahan di muka laut, rumah-rumah terapung di Kalimantan dan Papua, serta kampung nelayan Sulawesi Selatan dan di pulau-pulau kecil lainnya.
Wisata bisnis lainnya adalah pembangunan lahan-lahan pemancingan alam atau di karamba jaring apung, baik sebagai lomba atau sarana rekreasi. Pemancingan di alam harus ditentukan waktu yang tepat dan ukuran ikan yang bisa dibawa pulang, sehingga usaha ini bisa lestari dan berkelanjutan.
Wisata pemancingan sekaligus merupakan wisata olahraga, di samping wisata berperahu. Wisata berperahu berupa kano, perahu naga, perahu hias, dan jetski. Keseluruhan wisata ini bisa menjadi satu paket, yaitu : fasilitas penginapan, areal pemancingan, sewa perahu, dan pasar bagi masyarakat pesisir.

Bahan Baku Pakan dan Pupuk Hijau
Pemanfaatan lamun secara langsung di berbagai negara sudah banyak dilakukan. Di Denmark, lamun digunakan untuk menggantikan pakan bagi hewan dan komponen pupuk di daerah pesisir. Di Florida lamun digunakan sebagai pupuk untuk menghasilkan tomat dan stroberi dalam jumlah besar. Sedangkan di Jerman, lamun digunakan untuk bahan baku pembuatan kertas dan bahan pengganti dalam pabrik nitro selulosa. Berbeda dengan di negara-negara yang disebutkan tadi, di Amerika Serikat lamun digunakan untuk bahan mencegah kebakaran (Dahuri, 2003).
Dalam usaha budidaya ikan intensif, salah satu teknik untuk meningkatkan produksi adalah manajemen pemberian pakan. Intensifnya usaha budidaya ikan akan seiring dengan semakin pentingnya peranan pakan. Pakan membutuhkan 50-70 % biaya dari keseluruhan biaya operasional karena capaian tingkat produksi ditentukan oleh kuantitas, kualitas dan waktu pemberian pakan pada berbagai tahap budidaya.
Departemen Kelautan dan Perikanan lewat PROTEKAN dengan anggaran APBN sekitar 4 triliun untuk memanfaatkan potensi ekosistem padang lamun sebagai lahan budidaya laut yang hampir mencapai 2,01 juta hektar. Ngangi (2003), produksi ikan dari hasil budidaya adalah 2 juta ton/100 ribu ha/tahun. Bisa dibayangkan jumlah kebutuhan pakan ikan untuk keseluruhan lahan jika dikembangkan, misalnya ikan kerapu tikus (Chromileptes altivelis) untuk mencapai ukuran konsumsi (500 g/ekor) membutuhkan 6 kg pakan.
Dengan jumlah pakan yang sedemikian besar maka tujuan pembudidayaan ikan yaitu mengurangi hasil tangkapan di laut dikhawatirkan akan lebih memacu ke usaha penangkapan untuk memenuhi pakan segar bagi ikan budidaya. Maka perlu dicari alternatifnya, yaitu pemberian pakan buatan. Keuntungan pakan buatan adalah: tersedia dalam jumlah yang banyak, dapat disimpan, nutrisi tinggi, nilai efisiensi tinggi, & nilai ubah pakan yang rendah.
Pakan buatan membutuhkan bahan-bahan baku sebagai penyusunnya, baik bahan baku hewani maupun nabati. Sampai saat ini kendala pembuatan pakan adalah mahalnya tepung ikan. Untuk itu dicari bahan baku yang dapat mensubstitusi tepung ikan. Syarat bahan baku adalah: tersedia dalam jumlah yang banyak, bernutrisi tinggi, tidak beracun, dan bukan sebagai saingan konsumsi manusia.
Hasil penelitian, bahan baku nabati yang bisa mensubstitusi tepung ikan adalah: biji pepaya, daun mengkudu, daun bakau, dan sebagainya. Pakan buatan tersebut dapat diberikan pada ikan-ikan herbivora atau omnivora. Peluang memanfaatkan lamun sebagai bahan dasar pakan buatan sangat besar. Hal ini didukung oleh kandungan nutrisi dan kelimpahannya.


Ancaman Ekosistem Padang Lamun
Suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi dan transformasi energi yang berlangsung di antara kedua komponen dalam sistem tersebut, maupun dengan komponen-komponen dari sistem lain di luarnya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya alam sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya alam, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologi yang berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu sistem (Bengen, 2002).
Walaupun potensi sumberdaya hayati pesisir dan laut sangat kaya namun sebagian besar masyarakat yang bermukim di pesisir masih berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat pesisir untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan melebihi daya dukungnya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bengen & Rizal (2002), kemiskinan merupakan salah satu penyebab kerusakan sumberdaya hayati, namun sebaliknya kemiskinan juga merupakan akibat yang timbul dari kerusakan yang dialami oleh sumberdaya hayati. Untuk itu pemanfaatan sumberdaya harus tepat secara ekologi, teknologi dan ekonomi agar di suatu kawasan tidak terjadi over eksploitasi padahal di kawasan yang lain belum dimanfaatkan optimal.
Ekosistem padang lamun mempunya potensi ekonomi yang sangat besar. Potensi ini mendorong pengambilan sumberdaya yang dikandungnya secara berlebihan dan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem padang lamun adalah milik bersama (common property), sehingga bila tidak dimanfaatkan pada saat ini maka akan dimanfaatkan orang lain (tragedy of common). Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut digunakan cara-cara destruktif, mis. untuk menangkap ikan digunakan racun sianida, bahan peledak, dan lain-lain yang semuanya itu dapat merusak ekosistem padang lamun.
Ancaman yang mengakibatkan terdegrasinya ekosistem padang lamun bisa disebabkan dari aktivitas manusia (pertanian, pertambakan, industri, pertambangan, pengembangan kota, reklamasi, dsb.) dan pengaruh dari proses-proses alami (angin, arus, hujan, gelombang, dsb.). Pemanfaatan padang lamun seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya (sebagai areal marikultur, tempat pariwisata, rekreasi, bahan baku pakan, dan pupuk hijau) jika tanpa pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan dapat berakibat negatif pada ekosistem tersebut.
Sebagaimana ekosistem pesisir lainnya, padang lamun memiliki faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi serta tumbuh dan berkembangnya. Bengen (2003), faktor-faktor pembatas ekosistem padang lamun adalah: karbon (CO2 dan HCO3-), cahaya, temperatur, salinitas, pergerakan air, dan nutrien. Dahuri (2003), kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun 28-30 0C, salinitas 10-400/00 optimal 350/00, & kecepatan arus 0.5 m/detik.
Aktivitas manusia yang berlebihan di lahan atas dapat meningkatkan muatan sedimen pada badan air akan berakibat pada tingginya kekeruhan perairan, sehingga berpotensi mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat menimbulkan gangguan terhadap produktivitas primer ekosistem padang lamun karena lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk berfotosintesis.
Pemanasan global dan limbah industri pabrik akan meningkatkan suhu perairan. Lamun mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal. Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan ekosistem padang lamun adalah meningkatknya salinitas yang diakibatkan oleh berkurangnya suplai air tawar dari sungai.
Interaksi ekosistem padang lamun dengan ekosistem hutan mangrove sangat menentukan tipe substrat. Pengrusakan ekosistem hutan mangrove dapat menghilangkan salah satu fungsinya sebagai perangkap sedimen. Tanpa hutan mangrove maka sedimen dari darat akan hanyut dan menyebar ke laut. Padahal dengan terperangkapnya sedimen di hutan mangrove secara perlahan dan dalam jumlah yang besar akan bergeser ke padang lamun. Dahuri (2003), kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal, yaitu pelindung lamun dari arus air laut, dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun.
Tetapi juga sedimen yang mengandung bahan pencemar dan terperangkap di ekosistem pesisir merupakan masalah serius degradasi likungan. Bengen (2002), pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian, telah meningkatkan limbah pertanian, baik padat maupun cair yang masuk perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Limbah cair yang mengandung nitrogen dan fosfor berpotensi menimbulkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yang merugikan ekosistem pesisir.

Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun
A. Pengelolaan secara Terpadu
Perlindungan padang lamun dari berbagai ancaman degradasi dari aktivitas pemanfaatan perlu diupayakan agar fungsinya dapat optimal dan berkelanjutan. Upaya pengelolaan secara terpadu merupakan isu yang hangat dibicarakan untuk diterapkan di wilayah pesisir, termasuk pengelolaan ekosistem dan sumberdaya padang lamun.
Dahuri et al (2001) mendefinisikan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana keterpaduan dalam konsep ini mengandung tiga dimensi, yaitu:
1. Keterpaduan secara sektoral sebagai suatu keadaan, dimana proses koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration) dan pada semua level pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration) dijalankan secara terpadu.
2. Keterpaduan dalam sudut pandang pengelolaan wilayah pesisir yang dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdiciplinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lain sebagainya yang relevan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
3. Keterikatan ekologis sebagai suatu yang diperlukan dan harus diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai ekosistem, dimana jika satu ekosistem mengalami suatu perubahan atau kerusakan, maka hal yang sama pada akhirnya akan menimpa pula kepada ekosistem pesisir lainnya.
4. Rais (2003b), yang dimaksud dengan pengelolaan secara terpadu adalah :
5. Terpadu secara horisontal : antara Pemerintah – Masyarakat- Sektor.
6. Terpadu secara vertikal : antara sasaran nasional dan sasaran daerah.
7. Terpadu secara spasial : antara darat dan laut, antara hulu dan hilir.
8. Terpadu antara ilmu pengetahuan alam, manajemen (sosek) dan rekayasa (enjinering).
9. Terpadu secara internasional, terutama antar negara bertetangga, seperti polusi yang bersifat lintas batas, perselisihan tentang batas aktivitas perikanan.
b. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, & pemanfaatan hasil-hasilnya.
PBM dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat kepada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi, dimana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah di semua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Jadi kedua komponen baik masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dimana hanya masyarakat saja yang diharapkan aktif, namun pihak pemerintah harus proaktif dalam menunjang program pemberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir ini (Dahuri et al, 2001).
Pameroy & Williams (1994), beberapa kunci keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat adalah :
1. Batas-batas wilayah jelas terdefinisi.
2. Kejelasan keanggotaan.
3. Keterikatan dalam kelompok.
4. Manfaat harus lebih besar dari biaya.
5. Pengelolaan yang sederhana.
6. Legalisasi dari pengelolaan.
7. Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat.
8. Desentralisasi dan pendelegasian wewenang.
9. Koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat.
10. Pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat.

Padang lamun sampai saat ini seperti sumberdaya yang dianaktirikan, hal ini terlihat dari terbatasnya informasi tentang ekosistemnya. Padahal sebagai suatu ekosistem yang saling terkait dengan ekosistem yang lainnya, ekosistem padang lamun sangat menentukan sumberdaya dan struktur dari keseluruhan wilayah pesisir.
Pemanfaatan tumbuhan lamun sebagai riset unggulan di bidang perikanan kurang menarik perhatian dari para ahli/peneliti, khususnya di Indonesia, dibandingkan dengan vegetasi hutan mangrove dan terumbu karang. Jika ada yang masih peduli, bidang yang diminati hanya pada ruang di atas padang lamun yaitu badan airnya.
Pemanfaatan pesisir sebagai kawasan pembangunan, industri, dan reklamasi yang selalu dikhawatirkan adalah kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang. Belum pernah ada informasi berapa banyak produktivitas primer yang hilang seiring dengan hilangnya padang lamun. Termasuk di sini adalah kesulitan penulis mendapat informasi tentang ancaman-ancaman dan isu-isu pengelolaan padang lamun, sehingga banyak informasi yang diadopsi bahkan dimodifikasi.
Keunikan ekosistem padang lamun serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut. Pengelolaan sumberdaya padang lamun perlu keterpaduan antar sektor dan berbasis masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa :
1. Dalam ekosistem padang lamun mempunyai keterkaitan ekologis (fungsional) antar komponennya (biotik dan abiotik), keterkaitan dengan ekosistem yang lain maupun keterkaitan dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada satu komponen di padang lamun, cepat atau lambat, akan mempengaruhi seluruh komponen atau ekosistem yang lainnya. Demikian pula jika pengelolaan ekosistem lain tidak dilakukan berwawasan lingkungan, maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis padang lamun.
2. Padang lamun dengan bermacam sumberdaya dan jasa lingkungan terdapat keterkaitan langsung yang sangat kompleks antara proses-proses dan fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya pesisir.
3. Sebagaimana di kawasan pesisir, pengguna padang lamun pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan preference bekerja berbeda (pembudidaya, pengelola olahraga air & permainan air, nelayan, dsb) yang sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah profesi mereka yang mungkin sudah mentradisi.
4. Secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan padang lamun secara monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.
Padang lamun juga yang sebagai common property resources yang merupakan open acces sehingga keuntungan dimaksimalkan maka wajar jika pencemaran, over eksploitasi sumberdaya, dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com