4.03.2009

PARAMETER KUALITAS AIR DALAM AKUAKULTUR

PENDAHULUAN
Ekosistem akuatik merupakan suatu kumpulan dari organisme yang berinteraksi satu sama lain serta dengan lingkungannya yang menyebabkan suatu sistem fisiko-kimia. Interaksi tersebut sangat berpengaruh bagi kehidupan ikan maupun hewan akuatik lainnya. Parameter kualitas air dan lingkungan merupakan salah satu kriteria dalam pemilihan lokasi dan komoditas yang akan dibudidayakan. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi para pembudidaya untuk memiliki suatu pemahaman yang mendalam mengenai sifat fisika maupun kimia air serta memiliki ketrampilan yang memadai dalam menganalisanya.
Tingkat produksi ikan dan invertebrata sangat dipengaruhi serta dibatasi oleh karakteristik hidrobiologi lingkungan, keberadaan mikroorganisme dan bahan toksik yang terdapat dalam lingkungan perairan. Standar kualitas air yang umum bagi kegiatan akuakultur dapat dilihat pada Tabel 1. Standar tersebut hanya merupakan garis besar dan bisa bervariasi di antara satu spesies dengan spesies lainnya.
Secara garis besar, parameter kualitas air dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: variabel fisika dan variabel kimiawi. Variabel fisika meliputi (1) suhu, (2) salinitas (3) turbiditas (4) warna dan (5) tekanan gas total. Sedangkan variabel kimiawi meliputi (1) oksigen terlarut, (2) alkalinitas, (3) kesadahan/hardness, (4) pH, (5) karbon dioksida, (6) komponen nitrogen (7) hidrogen sulfida dan (8) logam berat.

SUHU
Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya pada hewan akuatik. Ikan merupakan hewan poikilothermal yaitu bahwa mereka memiliki suhu tubuhn yang sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari. Oleh karena itu, setiap spesies hewan akuatik memiliki suhu optimal untuk pertumbuhannya.
Suhu mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air serta menyebabkan interaksi berbagai faktor lain dalam parameter kualitas air. Suhu juga mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti tingkat respirasi, efisiensi pakan, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi.
Peningkatan suhu sampai 10 0C akan menyebabkan peningkatan kegiatan metabolisme dua sampai tiga kali lipat. Sebagai contoh: tingkat konsumsi oksigen ikan akan lebih tinggi 2 samapi 3 kali lipat pada suhu 30 0C dibanding pada suhu 20 0C. oleh karena itu, faktor ketersediaan oksigen sangat penting bagi ikan yang hidup di daerah panas.
Hewan akuaktik memliki toleransi terhadap perubahan suhu. Akan tetapi perubahan tersebut harus secara bertahap dan dalam kisaran yang sesuai dengan hewan tersebut.
Aplikasi bahan kimia pada kolam ikan juga sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada daerah tropis, pupuk lebih cepat terlarut dan bahan kimia lainnya bereksi lebih cepat.

SALINITAS
Salinitas merupakan suatu ukuran konsentrasi ion-ion yang terlarut dalam air yang diekspresikan dalam gram per liter (g/L) atau part per thousand (ppt). Simbol yang digunakan adalah ‰ atau lebih dikenal dengan “promil”. Komponen utama ion-ion tersebut adalah sodium (Na+) dan klorida (Cl-). Selain itu juga terdapat ion magnesium (Mg2+), kalsium (Ca2+), potassium (K+), sulfat (SO4-) dan bikarbonat (HCO3).
Hal yang berhubungan dengan salinitas adalah klorinitas. Klorinitas adalah total kandungan klorida, bromida dan iodida yang terkandung dalam 1 kg air laut setelah seluruh bromida dan iodida digantikan oleh klorida. Hybungan antara salinitas dan klorinitas digambarkan sebagai bentuik persamaan : S = 1,8066 x {Cl}.
Kadar salinitas sangat bervariasi di antara letak geografi dan kondisi hidrologi. Air laut memilki salinitas antara 33 – 37 ‰ dengan rata-rata 34 ‰. Daerah estuari memilki salinitas antara 5 sampai 30 ‰.
Berkaitan dengan toleransi terhadap perubahan salinitas, ikan dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu: eurihaline dan stenohaline. Eurihaline merupakan kelompok ikan yang memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas yang lebar seperti ikan kakap putih, udang galah dan ikan nila. Sedangkan stenohaline merupakan kelompok ikan yang memiliki toleransi terbatas pada perubahan salinitas seperti ika kerapu.
Klorinitas dapat diukur dengan menitrasi sampel air dengan silver nitrate adan indikator potassium kromatdan hasil yang didapat dikonversikan ke dalam salinitas. Selain itu, salinitas dapat diukur secara langsung dengan menggunakan salino meter maupun refraktometer.

TURBIDITAS
Turbiditas merupakan ukuran penetrasi cahaya di dalam air. Hal tersebut disebabkan oleh partikel-partikel terlarut maupun tersuspensi seperti tanah, plankton dan lain sebagainya.
Turbiditas yang disebabkan oleh plankton biasanya menguntungkan, tergantung dari jenis planktonnya. Hal tersebut karena dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air serta mencegah pertumbuhan tanaman air yang tidak diinginkan. Sedangkan turbiditas yang disebabkan oleh partikel tanah tersuspensi tidak diharapkan.
Pengukuran turbiditas dapat dilakukan dengan menggunakan lempengan Secchi (Secchi disk). Secchi disk merupakan lempengan bundar dengan diameter 30 cm. Lempengan tersebut dibagi empat bagian yang sama besar. Dua bagian dicat hitam dan dua bagian lainnya dicat putih. Lempengan tersebut dilengkapi dengan tali yang memiliki tanda ukuran panjang. Pengukuran dilakukan dengan menurunkan lempengan tersebut ke dalam air kolam samapi lempengan tersebut tidak kelihatan. Kedalaman tersebut dinamakan: visibilitas lempeng Secchi. Selain itu, turbiditas dapat diukur dengan metode Jackson Turbidity Units (JTUs) maupun Nephelometric Turbidity Units (NTUs). Pengukuran tersebut menggunakan sinar yang berasal dari lampu maupun dari lilin atau Jackson Candle Turbidimeter.

WARNA
Warna suatu kolam merupakan hasil interaksi antara radiasi sinar matahari dengan tingkat kejernihan air. Air murni akan memancarkan sinar biru jika terkena sinar matahari. Air yang mengandung unsur besi yang tinggi akan menyebabkan berwarna kekuningan. Plankton juga berpengaruh terhadap warna yang ditimbulkan tergantung pada spesiesnya. Perubahan kandungan oksigen dalam air juga dapat dilihat dari perubahan warna air kolam.

TEKANAN GAS TOTAL
Tekanan gas total merupakan jumlah dari tekanan parsial seluruh gas yanga ada dalam air. Tekanan gas total sangat penting dalam akuakultur karena air yang memiliki tekanan gas yang tinggi (super saturasi) dapat menyebabkan terjadinya gas bubble disease. Sindrom tersebut biasanya terjadi pada kolam air deras maupun sistem resirkulasi tertutup, akan tetapi jarang terjadi pada pemeliharaan ikan di kolam biasa.

OKSIGEN TERLARUT
Oksigen yang terdapat dalam air laut terdiri dari 2 bentuk senyawa yaitu terikat dengan unsur lain seperti NO-3, NO-2, PO4 3-, H2O, CO2 dan CO32- maupun sebagai molekul bebas (O2). Molekul oksigen (O2) yang terdapat di dalam air laut terlarut secara fisika sehingga kelarutannya sangat dipengaruhi oleh suhu air. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses difusi dan dari hasil proses fotosintesis fitoplankton pada siang hari. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut antara lain kenaikan suhu air, respirasi terutama pada malam hari, adanya lapisan minyak di atas permukaan laut serta masuknya limbah organik yang mudah terurai ke lingkungan laut.
Meskipun atmosfir terdiri dari hampir 21 % oksigen akan tetapi hanya sedikit oksigen yang terlarut dalam air. Ikan harus mengeluarkan energi yang lebih banyak dalam bernapas dibandingkan jenis hewan lainnya. Kelarutan oksigen akan menurun dengan meningkatnya suhu, menurunnya tekanana barometer, peningkatan ketinggian tempat serta meningkatnya kekeruhan air.
Tingkat konsumsi oksigen ikan bervariasi tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen terlarut, ukuran ikan, tingkat aktivitas, waktu setelah pemberian pakan dan lain sebagainya. Tingkat metabolisme juga bervariasi antar spesies dan dibatasi oleh rendahnya kandungan oksigen yang tersedia. Pada umumnya, ikan kecil akan mengkonsumsi oksigen per berat badan lebih banyak dibandingkan ikan besar dari satu spesies. Secara umum, ikan di daerah panas lebih toleran terhadap kandungan oksigen yang rendah dibandingkan dengan ikan di daerah dingin. Kematian pada ikan di daerah tropis terjadi jika kadar oksigen terlarut dalam air kurang dari 0,3 mg/L. Konsentrasi minimum oksigen terlarut untuk ikan di daerah tropis adalah 5 mg/L sedangkan untuk ikan di daerah dingin maupun ikan laut adalah 6 mg/L. Ikan juga tidak akan tumuh dengan optimal apabila konsentrasi oksigen terlarutnya kurang dari 25 % dari tingakt kejenuhan.
Pada kolam atau tambak, oksigen terlarut merupakan faktor pembatas. Tingkat difusi oksigen dari atmosfir ke dalam air sangat rendah. Oleh karena itu, proses fotosintesis fitoplankton maupun tumbuhan air merupakan faktor yang paling penting. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut sangat tergantung pada kepada plankton. Oksigen mencapai nilai terendah pada saat matahari terbit sebelum terjadinya proses fotosintesis. Kandungan oksigen akan meningkat pada siang hari dan mencapai puncaknya pada awal petang. Pada malam hari, kandungan oksigen akan kembali menurun.
Berbagai prosedure telah dilakukan untuk mempertahankan kandungan oksigen agar tetap pada kisaran yang sesuai dengan kebutuhan ikan. Beberapa cara tersebut antara lain: mengeluarkan hewan-hewan liar dari kolam, meminimalkan bahan organik dalam kolam, pergantian air secara parsial maupun keseluruhan, penambahan potassium permanganate (KMnO4) maupun dengan penggunaan kincir air.
Kandungan oksigen terlarut harus dimonitor setiap hari. Beberapa metode yang telah dikembangkan antara lain dengan kolorimetri, titrasi maupun dengan oksigen meter.




Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Secara alamiah, oksigen yang tekandung dalam air laut digunakan oleh mikro organisme untuk mengoksidasi bahan-bahan anorganik seperti senyawa nitrogen, sulfida, senyawa ferro (Fe2+) serta bahan-bahan organik. Secara umum, bahan-bahan organik yang masuk ke lingkungan perairan laut terdiri dari 2 bagian yaitu : bahan organik yang mudah terurai seperti karbohidrat, lemak dan protein serta bahan organik yang sukar terurai seperti DDT.
BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri atau mikrobia dalam dekomposisi bahan organik dalam keadaan aerobik. BOD merupakan salah kriteria utama dalam pemantauan polusi di perairan alami. Pada pengukuran BOD, sampel air akan diinkubasikan selama lima hari pada suhu 20 0C dalam ruang tertutup atau gelap. Setelah lima hari, tingkat konsumsi oksigen oleh mikrobia diukur dengan metode seperti pengukuran oksigen terlarut.

Chemical Oxygen Demand (COD)
Kebutuhan oksigen kimiawi atau yang lebih dikenal dengan COD (chemcal oxyegen demand) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi seluruh bahan organik baik yang mudah terurai maupun sukar terurai secara kimiawi dengan menggunakan oksidator kuat. Bahan organik yang mudah terurai yang masuk ke perairan laut pada umumnya berasal dari limbah domestik atau pemukiman sedangkan yang sulit terurai berasal dari limbah perindustrian, pertanian maupun pertambangan. Oleh karena itu, parameter COD sangatlah penting sebagi indikator dalam analisa pencemaran limbah industri, pertambangan maupun pertanian. Dalam perairan laut yang masih alami, kadar COD berkisar antara 1,5 – 2 kali lebih tinggi dibandingkan kadar BOD.
COD juga merupakan parameter penting dalam penentuan total kebutuhan oksigen pada limbah pembenihan maupun kegiatan akuakultur lainnya. Dibandingkan dengan BOD, pengukuran COD hanya memerlukan waktu beberapa jam. Pengukuran COD dilakukan dengan berbagai metode seperti metode refluks bikromat. Metode ini menggunakan asam kuat yaitu asam sulfat (H2SO4) dan senyawa oksidator K2Cr2O7.

ALKALINITAS
Alkalinitas didefinisikan sebagai jumlah total basa yang ada dalam air dan diekspresikan sebagai mg/L CaCO3. Ion-ion utama yang berperan dalam alkalinitas adalah karbonate (CO3-) dan bikarbonat (HCO3-). Selain itu terdapat ion hidroksida, ammonium, borat, silikat dan fosfat.
Alkalinitas merupakan kapasitas suatu perairan dalam menyangga perubahan pH atau kapasitas dalam netralisasi asam. Tingkat alkalinitas yang tinggi berarti bahwa perairan tersebut sangat stabil dalam mengahadapi perubahan pH. Perairan tawar memiliki tingkat alkalinitas sebesar kurang dari 5 mg/L pada air lunak (soft water) dan 500 mg/L pada air sadah (hard water). Pada air payau dan laut, tingkat alkalinitas berkisar antara 116 mg/L. Oleh karena itu, alkalinitas jarang menjadi permasalahan pada budidaya payau maupun laut.
Metode pengukuran alkalinitas dilakukan dengan titrasi sampel air sampai titik akhir metil orange (pH = 4,5) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) maupun asam klorida (HCl).

KESADAHAN/HARDNESS
Kesadahan air menggambarkan kandungan ion Ca2+, Mg2+ maupun ion-ion logam polivalen yang lain seperti Al3+, Fe3+, Mn2+ dan lainnya yang terlarut dalam air. Secara umum dikatakan bahwa produkstifitas air untuk akuakultur akan tinggi apabila nilai alkalinitasnya sama dengan kesadahannya. Apabila nilai alkalinitas total yinggi sedangkan kesadahannya rendah maka pH akan naik sampai 11 selama proses fotosintesis berlangsung.
Kalsium sangat dibutuhkan untuk proses osmoregulasi maupun pembentukan tulang pada ikan maupun karapaks pada udang. Beberapa spesies ikan yang hidup pada air dengan kesadahan rendah menunjukkan tanda-tanda kelainan pada tulang atau deformitas. Konsentrasi kalsium akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar garam atau salinitas. Nilai kesadahan total pada air laut berkisar antara 6600 mg/L. Oleh karena itu, kesadahan seringkali tidak menjadi masalah dalam budidaya laut.
Prinsip analisa kesadahan adalah dengan menggunakan EDTA atau Ethylene Diamine Tetraacetic Acid serta Na-EDTA. Analisa tersebut juga menggunakan indikator EBT (Eriochrome Black T).

pH
pH air mengekspesikan intensitas asam maupun basa perairan tersebut. Bentuk persamaan pH adalah logaritma negative dari aktivitas ion hidrogen. Skala pH berkisar antara 0 s/d 14. Kiasaran pH pada perairan alami antara 5 – 10. Sedangkan rerata pH air laut adalah 8,3 dan relatif konstan dikarenakan kapasitas penyangga air laut yang tinggi.
Perubahan pH suatu perairan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: hujan asam, polusi dan kadar karbon dioksida sebagai akibat dari respirasi. Air dengan kadar alkalinitas tinggi memiliki pH berkisar 7,5 – 8 pada siang hari dan 9 – 10 pada sore hari. Air yang memilki pH di bawah 5 biasanya mengandung asam sulfat yang dihasilkan oksidasi mineral sulfat pada tanah dasar, selain itu juga berasal dari oksidasi senyawa besi oleh bakteri sulfur dalam kondisi anaerob.
Pengukuran pH biasa dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus maupun pH meter.

KARBON DIOKSIDA
Karbon dioksida merupakan kompenen alami pada perairan tawar maupun laut. Karbon dioksida terlarut ke dalam air permukaan dengan proses difusi dari atmosfir dan juga berasal dari proses respirasi serta oksidasi biologi bahan organik. Bikarbonat dalam darah ikan dikonversikan menjadi karbon dioksida dalam insang dan terdifusi ke dalam air. Pada saat kandungan karbon dioksida dalam air tinggi maka pH air akan berubah ke arah asam. Idealnya, air media pemeliharaan larva ikan maupun udang harus bebas dari karbon dioksida.
Karbon dioksida sangat mudah terlarut dalam air, walaupun kadar di atmosfir sangat rendah. Karbon dioksida tidak menjadi toksik bagi hewan akuatik apabila kandungan oksigen terlarutnya cukup tinggi. Konsentrasi karbon dioksida dalam kolam maupun tambak sangat bervariasi dikarenakan adanya proses metabolisme tanaman maupun hewan.
Karbon dioksida bebas dapat dihilangkan dari air media budidaya dengan penambahan kasium hidroksida (Ca(OH)2) atau kapur. Penambahan 1,68 mg/L kapur akan melepaskan 1 mg/L karbon dioksida. Pengukuran karbon dioksida dapat dilakukan dengan titrasi air sampel menggunakan NaOH serta indikator fenolphtalein (pp).

NITROGEN
Dalam akuakultur, komponen pembatas kedua setelah oksigen adalah nitrogen. Sumber utama nitrogen (90 %) adalah dari pakan tambahan/buatan serta hasil proses metabolisme hewan akuatik. Komponen nitrogen yang penting dalam air antara lain : gas nitrogen (N2), amoniak tak terionisasi (NH3), amoniak terionisasi (NH3), nitrit (NO2) dan nitrat (NO3). Kelarutan gas nitogrn dalam air sangat rendah sehingga tidak menjadi permasalahan dalam kegiatan budidaya ikan.

Amoniak
Di perairan laut, senyawa amoniak merupakan hasil reduksi senyawa nitrat (NO3-) atau senyawa nitrit (NO2-) oleh mikro organisme. Selain itu, senyawa amoniak juga berasal dari hasil ekskresi fitoplankton terutama pada saat terjadinya ledakan plankton (plankton blooming) serta hasil dari degradasi zat organik seperti protein dan lain sebagainya.
Dalam ekosistem akuakultur, nitrogen terdapat dalam dua bentuk yaitu anorganik dan organik nitrogen. Input organik nitrogen berasal dari kotoran hewan akuatik maupun pakan. Sedangkan input nitrogen anorganik berasal dari pupuk buatan, hujan asam serta terdapatnya nitrogen anorganik dari suplai air.
Nitrogen organik didekomposisikan oleh mikroba menjadi amoniak (NH3). Proses ini seringkali dinamakan sebagai mineralisasi nitrogen organik. Nitrifikasi merupakan proses dua tingkat di mana amonika dioksidasi menjadi senyawa nitrat oleh bakteria khemo-autotrofik. Mikrobia tersebut dapat mensintesa bahan organik dari karbon dioksida. Energi mikrobia tersebut berasal dari senyawa organik
Amoniak terdiri dari dua bentuk yaitu ammonium (NH4+) dan amoniak tidak terionisasi (NH3). Jumlah total kedua fraksi tersebut biasa disebut total amoniak atau amoniak. Persamaan kedua fraksi tersebut adalah :
NH3 + H2O = NH4OH = NH4+ + OH-
Toksisisas amoniak terhadap hewan akuatik sangat tergantung pada pH, suhu dan salinitas. Pada saat pH tinggi maka persamaan di atas akan bergerak ke arah kiri atau dengan kata lain kadar NH3 akan naik, begitu pula sebaliknya.
Pada saat kadar amoniak dalam air tinggi maka kemampuan ikan untuk mengekskresikan amoniaknya berkurang. Hal tersebut menyebabkan naiknya kadar amoniak dalam darah maupun jaringan tubuh. Hal itu akan meningkatkan kadar pH darah dan memiliki efek yang merugikan pada reaksi berbagi enzim dan stabilitas membran. Efek negatif tersebut meliputi kerusakan insang, pengurangan kapasitas darah dalam membawa oksigen serta kerusakan histologi pada sel darah merah. Pada dasarnya, ikan di daerah panas lebih toleran terhadap amoniak dibanding ikan di daerah dingin sedangkan ikan air tawar lebih toleran terhadap amoniak di banding ikan air laut. Konsentrasi maksimum amoniak (NH3 – N) untuk ikan laut berkisar 0,01 mg/L. Pengukuran amoniak dapat dilakukan dengan jalan titrasi menggunakan metode Nessler maupun phenate.



Nitrit
Nitrit adalah bentuk terionisasi dari asam nitrat (HNO2). Sebagaimana amoniak, nitrit juga sangat beracun bagi hewan akuatik. Kandungan nitrit dalam kolam ikan berkisar antara 0,5 – 5 mg/L. Hal tersebut kemungkinan berasal dari hasil reduksi nitrat pada dasar kolam atau air yang anaerob.
Efek toksik nitrit pada ikan terjadi pada transport oksigen serta kerusakan jaringan. Pada saat nitrit diabsorbsi oleh ikan maka ion besi dalam haemoglobin akan teroksida dari ferro ke ferric. Hal tersebut mengakibatkan suatu produk yang dinamakan methemoglobin dan mengakibatkan terganggunya transporatasi oksigen dalam darah. Darah ikan yang mengandung methemoglobin akan berwarna coklat sehingga penyakit tersebut dikenal sebagai brown blood disease. Hal serupa terjadi pada haemocyanin yang terdapat dalam tubuh krustasea atau udang-udangan.
Kadar nitrit yang terdapat dalam darah ikan sangat tergantung pada konsentrasi ion klorida dalam air. Tingkat nitrit yang tinggi dalam air yang sedikit mengandung ion klorida akan menyebabkan berkurangnya aktivitas makan, konversi pakan yang tinggi, penurunan daya tahan terhadap penyakit serta terjadinya kematian. Peningkatan rasio kadar klorida dan nitrit akan mengurangi toksisitas nitrit terhadap hewan akuatik. Oleh karena itu, nitrit jarang menjadi masalah dalam budidaya ikan payau maupun laut dikarenakan tingginya kandungan ion klorida dalam dua perairan tersebut. Sebalinya, nitri sering menjadi permasalahan yang serius pada budidaya ikan air tawar. Untuk mengurangi permasalahan tersebut, penambahan garam kerosok (NaCl) dapat diaplikasikan dalam kolam maupun media pengangkutan ikan air tawar. Selain itu, toksisitas nitrit sangat dipengaruhi oleh pH air. Penurunan pH air akan meningkatkan efek toksisitas nitrit.
Seperti halnya amoniak, nitrit dapat diukur dengan metode spektrofotometrik maupun colorimetrik. Nitrite test kits sudah banyak diproduksi oleh berbagai perusahaan. Alat tersebut cukup akurat untuk dguanakn di lapangan.

Nitrat
Berbeda dengan amoniak maupun nitrit, nitrat jarang sekali menjadi masalah dalam budidaya hewan akuatik baik di tawar, payau maupun laut. Efek nitrat pada hewan akuatik hampir sama dengan nitrit yaitu pada transportasi oksigen dan proses osmoregulasi. Kadar nitrat dalam air yang berbahaya bagi ikan maupun invertebrata berkisar antara 1000 – 3000 mg/L. Oleh karena itu, keracunan nitrat pada hewan akuatik sangat jarang terjadi.


HIDROGEN SULFIDA (H2S)
Hidrogen sulfida (H2S) berasal dari limbah industri maupun proses dekomposisi bakteri dalam keadaan anaerob. H2S merupakan gas yang mudah larut yang sangat toksik bagi kehidupan hewan akuatik. Sumber utama H2S adalah dekomposisi bahan organik oleh bakteri tanah (Desulfovibrio spp) dalam kondisi anaerob. Mikroorganisme tersebut melakukan respirasi secara anaerob dengan menggunakan sulfat (SO42-) sebagai elktron aseptor sebagai pengganti oksigen. Air pada dasar danau maupun waduk seringkali dalam keadaan anaerob dan tingginya kadar H2S yang dihasilkan oleh sedimen dasar dapat terdifusi ke air tersebut. Apabila di dekat waduk atau danau tersebut terdapat pembenihan maka air yang dipakai pembenihan tersebut memilki kadar sulfida yang relatif tinggi.
Pada sistem karamba jaring apung, akumulasi pembusukan bahan organik di dasar dapat menyebabkan tingginya H2S di kolom air. Jika hal ini terjadi maka karamba jaring apung tersebut harus dipindahkan ke dalam lokasi yang kedalaman airnya lebih dalam.
H2S lebih sering menjadi permasalahan pada budidaya undang intensif. Tanah dasar tambak menghasilakn konsentrasi sulfida yang lebih tinggi dikarenakan konsentrasi sulfat di air laut juga tinggi. Selain itu, habitat udang yang lebih suka berada pada dasar tambak mengakibatkan banyaknya kematian udang akibat keracunan H2S.
Konsentrasi sulfida dapat dikurangi dengan pemakaian kincir air dan sirkulasi air di dekat dasar kolam maupun tambak untuk meminimalkan kondisi ananerob pada area tersebut. Pengeringan tanah dasar tambak secara periodik juga akan meningkatkan proses oksidasi sulfida dalam tanah serta meningkatkan proses dekomposisi bahan organik.
Pada tubuh hewan akuatik, H2S akan masuk ke dalam lapisan epitelium insang dan menjadi toksik karena mekanismenya dalam menghalangi kemampuan sel untuk trasnportasi oksigen. Hal tersebut menyebabkan efek yang dikenal sebagai hipoksia (hypoxia), sama seperti jika ikan kekurangan oksigen maupun keracunan sianida. Oleh karena itu, toksisitas H2S kan meningkat seiring dengan penurunan kadar oksigen terlarut. H2S sangat beracun bagi hewan akuatik walaupun pada konsentrasi rendah (sekitar 0,05 mg/L). Sedangkan konsentrasi H2S kurang dari 0,01 mg/L dapat menghambat proses reproduksi bagi sebagian ikan.
H2S dapat diukur dalam air sampel dengan pengukuran konsentrasi sulfida total dengan analisa kimia dan selanjutnya kandungan H2S-nya dapat ditentukan berdasarkan suhu, pH dan salinitas. Untuk konsentrasi sekitar 0,1 mg/L, H2S dapat diukur dengan metode kolorimetrik methylene blue.

LOGAM BERAT
Logam berat banyak digunakan dalam industri dan pada umumnya limbah logam berat berbentuk klorida maupun garam-garam terlarut. Sumber potensi logam berat berasal dari pelepasan logam berat yang terdapat dalam pipa saluran galvanis. Ion-ion logam berat sangat mudah terlarut dan bersifat toksik pada perairan dengan kesadahan lunak. Akan tetapi, ion logam berat akan berubah menjadi ion karbonat maupun hidroksi yang tidak mudah larut pada perairan dengan alkalinitas tinggi (< 150 mg/L CaCO3 dan pH 8) dan hal ini akan mengurangi kadar toksisitasnya.
Logam berat yang banyak dijumpai pada air media pembenihan adalah ion seng (Zn) maupun kupri (Cu). Ion seng terlarut sangat toksik dengan adanya ion kupri. Secara umum, penurunan oksigen terlarut serta peningkatan suhu akan meningkatkan kadar toksisitas ion logam berat.
Dalam air laut, logam berat terdapat dalam bentuk larutan dan tersuspensi atau terikat dengan zat padat tersuspensi. Secara alamiah kadar logam berat dalam air laut sangat rendah yaitu berkisar antara 10-5 – 10-2 ppm. Dalam kondisi alami ini, logam berat juga dibutuhkan oleh organisme untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Peningkatan kadar logam berat dalam air laut akan mengakibatkan logam berat yang semula dibutuhkan untuk metabolisme berubah menjadi zat racun bagi organisme laut. Selain bersifat racun, logam berat juga akan terakumulasi dalam sedimen serta biota laut melalui proses gravitasi, biokonsentrasi, bioakumulasi dan bio magnifikasi oleh biota laut. Peningkatan kadar logam berat dalam air laut akan diikuti oleh peningkatan kadar logam berat dalam tubuh organisme laut sehingga menimbulkan dampak pencemaran.
Kasus pencemaran logam berat yang paling terkenal adalah kasus Minamata di Jepang. Pada kasus tersebut, organisme laut di Teluk Minamata telah tercemar berat oleh logam merkuri sehingga para nelayan maupun penduduk sekitar teluk yang memakan biota laut/ikan meninggal maupun cacat. Oleh karena itu, pemantauan kandungan logam berat dalam air laut perlu terus dilakukan secara periodik.
Penentuan kadar logam berat dalam air laut dilakukan dengan metode Spektrofotometrik Serapan Atom atau Atomic Absorbtion Spectrometry (AAS). Metode ini berdasarkan hukum Lambert-Beer yaitu bahwa banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara kadar zat dengan absorbansi adalah persamaan garis lurus dengan koefisien arah positif yaitu Y = a + bx. Dengan memasukkan nilai absorbansi larutan sampel maka kadar logam berat dalam sampel dapat diketahui.
Oleh karena yang mengabsorbsi sinar adalah atom maka ion atau senyawa logam berat tersebut harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk atom. Perubahan bentuk ion menjadi atom biasa dilakukan pada suhu tinggi (2000 0C) melalui pembakaran denga menggunakan gas asetilen dan udara. Selain itu juga dapat menggunakan tenaga listrik atau yang lebih dikenal dengan nama metode graphite furnace atau carbon rod atomizer. Khusus untuk penentuan kadar merkuri, metode yang digunakan adalah pengatoman dengan menggunakan zat kimia yang bersifat reduktor yaitu SnCl2 maupun BH4Na.

DAFTAR PUSTAKA

Almendras, J.M.E. 1987. Acute nitrite toxicity and methemoglobinema in juvenile milkfish (Chanos chanos Forskall). Aquaculture 61: 33 – 40.

APHA (American Public Health Association), American Water Works Association, Water Pollution Control Federation, 1998. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 20th ed. Washington, DC, USA.

Boyd, C.E. dan C.S. Tucker. 1998. Pond Aquaculture Water Quality Management. Kluwer Academic Publishers. Great Britain.

Colt, J. E. dan J.R. Tomasso. 2001. Hatchery water supply and treatment, hal. 91 – 186. Dalam G.A. Wedwmeyer, ed. Fish Hatchery Management. 2nd edition. American Fisheries Society. Bethesda. Maryland.

Hutagalung, H.P., D. Setiapermana dan S. H. Riyono, editor. 1997. Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.

Lawson, T.B. 1995. Fundamentals of Aquacultural Engineering. Chapman & Hall, New York.

Lewis, Jr. W.M. and D.P. Morris. 1986. Toxicity of nitrite to fish: a review. Trans. Am. Fish. Soc. 115: 183 – 195.

Owsley. D.E. 2000. Biochemical Oxygen Demand, hal 106 – 108. Dalam R.R. Stickney, ed. Encyclopedia of Aquaculture. John Wiley and Sons, Inc., New York.

-----------------. 2000. Chemical Oxygen Demand, hal 170 - 172. Dalam R.R. Stickney, ed. Encyclopedia of Aquaculture. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Wedemeyer, G. A. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems. Chapman and Hall. New York.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com