4.06.2009

Meneladani dari Imam Syafi'i

Dengan tidak mengurangi rassa hormat saya, penulis mengaplod sebuah artikel dri ikhwan (blum tahu siapa), semoga menjadi bahan ajaran bagi kita semua
Siapa yang tidak mengenal imam syafi’i? beliau adalah salah satu imam yang mazhabnya diikuti secara luas oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia. Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Selain itu ia juga ahli bahasa dan syair arab. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Keinginannya yang besar untuk belajar membuatnya merantau keberbagai tempat untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Madinah untuk berguru dengan imam Malik dan pergi ke Baghdad untuk berguru dengan imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ia membuat mazhabnya sendiri.

Masa kecil imam syafi’i

Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath (upaya mengambil keputusan hukum syariah berdasarkan dalil-dalil al-Qur'an atau as-Sunnah yang ada).

Suaminya meninggal sebelum Imam Syafi'i lahir. Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Ia membesarkan Syafi'i sendirian.
Memotivasinya untuk belajar. Usia 7 tahun Syafi'i sudah hafal Alquran.

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Imam Syafi’i berguru fiqih kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az-Zanji. Karena ketekunannya, semua ilmu fiqih dilalapnya dengan cepat. Beliau juga cerdas dan benar-benar seorang yang berbakat menjadi mufti.

Az-Zanji kemudian mengakui kemampuan muridnya yang ajaib itu sehingga beliau mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Ia menjadi mufti di Masjid Al-Haram Makkah, tempat yang begitu mendunia, didatangi oleh jutaan umat manusia setiap tahunnya. Dan di tempat yang paling mulia di muka bumi itulah, As-Syafi’i telah menjadi mufti dalam usia yang teramat belia.

Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi.

Ketika berusia masih kecil yaitu 14 tahun, beliau menceritakan hasratnya kepada ibundanya yang sangat dikasihinya tentang keinginannya untuk menambahkan Ilmu Pengetahuan dengan cara merantau.

Mulanya Ibundanya berat untuk melepaskan Syafi'i, karena beliaulah seorang yang menjadi harapan ibunya untuk menjaganya di hari tuanya. Demi ketaatan dan kecintaan Syafi'i kepada Ibundanya, maka mulanya beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu, demi kasih sayangnya kepada ibunya itu. Meskipun demikian akhirnya ibundanya mengizinkan Syafi'i untuk memenuhi hajatnya untuk menambah Ilmu Pengetahuan.

Sebelumnya melepaskan Syafi'i berangkat, maka ibundanya mendo'akannya
:"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam ! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keredhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"

Selesainya berdo'a ibundanya memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang dan dengan linangan air mata karena sedih untuk berpisah. Sambil berkata: "Pergilah anakku Allah bersamamu !Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah redha melepaskanmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan ! Selepas ibunya mendo'akan Syafi'i, maka Syafi'i mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya.

Sambil meninggalkan ibunda yang sangat dikasihinya dengan hati yang pilu Syafi'i melambaikan tangan mengucapkan salam selamat tinggal, dan mengharapkan ibundanya senantiasa mendo'akannya untuk kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu Pengetahuan yang berguna.

Oleh karena kehidupannya yang sangat miskin, maka Syafi'i berangkat dengan tidak membawa perbekalan uang, kecuali dengan berbekalkan do'a ibunya dan cita-cita yang teguh untuk menambah Ilmu Pengetahuan sambil bertawakkal kepada Allah s.w.t.

Imam Syafi'i mengisahkan perpisahan dengan ibunya dengan mengatakan: "Sesekali aku menoleh kebelakang untuk melambaikan tangan kepada ibuku. Dia masih terjegat diluar pekarangan rumah sambil memperhatikan aku. Lama-kelamaan wajah ibu menjadi samar ditelan kabus pagi. Aku meninggalkan kota Makkah yang penuh barkah, tanpa membawa sedikitpun bekalan uang, apa yang menjadi bekalan bagi diriku hanyalah Iman yang teguh dan hati yang penuh tawakkal kepada Allah s.w.t.serta do'a restu ibuku sahaja. Aku serahkan diriku kepada Allah seru sekalian
Alam."

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com